
Upaya wartawan melakukan konfirmasi bukanlah tindakan mencari-cari kesalahan, melainkan bagian tak terpisahkan dari fungsi pers dalam menyajikan informasi yang berimbang dan akurat kepada publik. Karena itu, ketika proses konfirmasi justru diduga berujung pada pemutusan komunikasi, publik patut mempertanyakan sejauh mana komitmen keterbukaan dari pihak-pihak yang mengelola kegiatan berbasis dana publik.
Dugaan pemblokiran nomor wartawan saat konfirmasi proyek tembok jalan makam di Kelurahan Bringin, Kecamatan Sambikerep, Surabaya, menjadi sinyal yang tidak sehat bagi praktik transparansi di tingkat lokal. Persoalan ini tidak semata menyangkut etika komunikasi, tetapi menyentuh prinsip akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik yang dijamin oleh undang-undang.
Dalam sistem demokrasi, setiap kegiatan yang menggunakan anggaran negara atau daerah berada dalam ruang pengawasan publik. Ketertutupan informasi—apabila benar terjadi—justru berpotensi memunculkan kecurigaan dan spekulasi, sesuatu yang sejatinya dapat dihindari melalui komunikasi yang terbuka, proporsional, dan bertanggung jawab.
Redaksi menilai bahwa menghindari konfirmasi bukanlah solusi. Sikap tersebut, jika dibiarkan, dapat mencederai kepercayaan masyarakat dan menimbulkan persepsi negatif terhadap pelaksana kegiatan, meskipun belum tentu terdapat pelanggaran dalam pelaksanaan proyek itu sendiri.
Pemimpin Redaksi Media Suara Rakyat Indonesia (MSRI), Slamet Pramono, menegaskan bahwa konfirmasi merupakan hak pers sekaligus mekanisme kontrol sosial yang dilindungi undang-undang.
Wartawan bekerja berdasarkan etika dan hukum. Konfirmasi dilakukan agar informasi yang disampaikan tidak sepihak. Ketika ruang klarifikasi tertutup, publik justru kehilangan kesempatan untuk mengetahui fakta yang utuh,” tegasnya.
Lebih lanjut, Slamet Pramono menekankan bahwa keterbukaan semestinya menjadi standar dalam pengelolaan kegiatan kemasyarakatan yang bersumber dari dana publik.
“Jika pelaksanaan proyek telah sesuai ketentuan, maka tidak ada alasan untuk menghindari konfirmasi. Keterbukaan justru menjadi bentuk perlindungan bagi semua pihak,” tambahnya.
Redaksi berpandangan bahwa klarifikasi yang disampaikan secara jujur dan bertanggung jawab akan jauh lebih konstruktif dibandingkan sikap diam atau menghindar. Penjelasan terbuka bukanlah bentuk kelemahan, melainkan cerminan kedewasaan dalam berdemokrasi, khususnya di tingkat lokal.
Oleh karena itu, redaksi mendorong Pokmas Bringin, pihak kelurahan, serta pemangku kepentingan terkait untuk memberikan penjelasan resmi kepada publik. Langkah ini penting guna mencegah berkembangnya opini liar serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan proyek di wilayah tersebut.
Pers akan terus menjalankan fungsi kontrol sosial secara profesional, kritis, dan berimbang, dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Transparansi bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan komitmen moral kepada publik yang berhak mengetahui bagaimana dana publik dikelola.(RED) MISTO)





