5 Desember 2025, Grogol, Kabupaten Kediri. Ketika Alam dan nyawa menjadi korban keserakahan serta kebodohan manusia manusia rakus, ekosistem yang terputus tak lagi menjadi rumus mata rantai kehidupan ditengah duka indonesia saat ini.
Dr. H. ROMADLON SUKARDI, MM
(Ketua Komisi Hubungan Ulama–Umara MUI Jawa Timur, Wakil Ketua PW DMI Jawa Timur, Ketua Yayasan Sosial dan Pendidikan Al-Huda Insan Kamila Grogol Kediri)
Memberikan pandangannya dalam wawancara eksklusif bersama Wawan Kabiro Pers Kediri Kota – Indonesia Jaya Group, terkait ” Islam, Lingkungan, dan Tragedi Kemanusiaan Bencana Ekologi Sumatera ” Dialog ini disajikan transparan agar lebih otentik penyampaiannya dengan tanya jawab langsung, berikut wawancara Media dengan Dr. H. Romadlon Sukardi, MM
Media :
Assalamu’alaikum, Doktor Romadlon. Terima kasih telah meluangkan waktu. Saat ini publik berduka atas bencana banjir dan longsor di Sumatera yang menelan lebih dari seribu korban jiwa dan ratusan lainnya hilang. Bagaimana Anda melihat tragedi ini?
Dr. Romadlon :
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Tragedi Sumatera bukan hanya bencana alam, tetapi bencana ekologis, bencana kemanusiaan, dan bencana moral. Ketika lebih dari 1.000 orang wafat, 600 lebih hilang, dan ribuan lainnya dirawat, sesungguhnya kita sedang melihat akibat dari ulah manusia yang nggragas—rakus dan mengabaikan martabat bumi tempatnya berpijak.
Media :
Apakah kondisi lingkungan hutan kita memang separah itu?
Dr. Romadlon :
Ya, sudah sangat darurat. Data yang masuk menunjukkan 8–20 perusahaan melakukan pembalakan dan pertambangan di sepanjang Aceh–Sumbar. Ketika pohon-pohon besar ditebang, akar yang selama ini mengikat tanah hilang, dan air kehilangan penyangga alaminya. Maka banjir bandang dan longsor menjadi keniscayaan.
Media :
Jadi penyebab utamanya bukan semata cuaca ekstrem, tetapi ulah manusia?
Dr. Romadlon :
Betul. MUI pusat sudah menegaskan bahwa kerusakan ekosistem akibat pembalakan dan pertambangan—legal maupun ilegal—adalah faktor utama. Cuaca ekstrem hanya memperbesar dampaknya.
Media :
Bagaimana para ulama melihat peristiwa ini?

Dr. Romadlon :
Islam menempatkan manusia sebagai khalifah fil ardh—penjaga bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Namun sebagian manusia justru menjadi perusak bumi, sebagaimana diperingatkan Allah:
“Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56).
Menghancurkan hutan berarti mengkhianati amanah Allah. Ini bukan sekadar pelanggaran ekologis, tetapi pelanggaran spiritual.
Media :
Langkah apa yang seharusnya diambil pemerintah?
Dr. Romadlon :
Pimpinan MUI pusat telah mendesak Menteri Lingkungan Hidup untuk mencabut izin perusahaan-perusahaan perusak hutan serta meminta Kapolri bertindak cepat dan transparan dalam menelusuri unsur pidana. Kami juga berharap Presiden Prabowo memberi instruksi langsung agar penindakan tidak berhenti pada tataran wacana. Ini adalah alarm merah bagi bangsa.
Media :
Muncul isu kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan. Bagaimana MUI melihatnya?
Dr. Romadlon :
Itu ironi paling pahit. Aktivis lingkungan adalah mujahid penjaga bumi, bukan musuh negara. MUI meminta pemerintah menghentikan tekanan terhadap mereka. Fokuskan energi untuk menghukum para perusak lingkungan, bukan mereka yang memperjuangkan keselamatan publik.
Media :
“Bagaimana peran eksekutif DPR RI dalam situasi ini?”
Dr. Romadlon :
DPR harus turun langsung melihat kondisi lapangan dan memastikan pengawasan berjalan. Mereka harus mendorong pencabutan izin perusahaan yang terbukti merusak hutan. Isu lingkungan bukan isu pinggiran—ini menyangkut keberlanjutan bangsa dan keselamatan manusia.

Media :
Sebagai tokoh agama, bagaimana Anda melihat hubungan antara kerusakan lingkungan, kesehatan publik, dan syariat Islam?
Dr. Romadlon :
Islam adalah agama yang sangat ekologis. Nabi SAW bersabda, “Bumi ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian pemakmurnya.” Pesan ini adalah mandat peradaban. Setiap kerusakan lingkungan adalah pengkhianatan terhadap amanah Tuhan. Merusak hutan berarti merusak kesehatan manusia, merusak air, merusak udara, dan merusak tatanan kehidupan yang menjadi bagian dari maqashid syariah.
Media :
Sebagian pihak mengatakan kerusakan hutan hanyalah peristiwa tunggal. Bagaimana Anda menanggapinya?
Dr. Romadlon :
Kerusakan hutan bukan peristiwa tunggal, tetapi rantai luka yang merembet ke kesehatan, ekonomi, dan stabilitas sosial. Air mengering, udara tercemar, pengungsian penuh penyakit, petani kehilangan tanah, dan negara menanggung anggaran raksasa untuk bencana yang seharusnya bisa dicegah.
Media :
Apakah benar kerusakan hutan adalah ancaman besar bagi kehidupan manusia?
Dr. Romadlon :
Benar sekali. Ini ancaman langsung terhadap keberlangsungan hidup, terutama bagi kelompok paling rentan. Menjaga hutan berarti menjaga napas kehidupan itu sendiri.
Media :
Apa pesan Anda kepada penegak hukum?
Dr. Romadlon :
Polri harus hadir sebagai pelindung rakyat. Hukum lingkungan tidak boleh tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Rakyat miskin menjadi korban banjir, sementara para pemodal besar hidup nyaman. Penegakan hukum harus tegas, adil, dan berpihak pada keselamatan publik.
Media :
Bagaimana masyarakat dapat berperan menjaga lingkungan?
Dr. Romadlon :
Dimulai dari hal sederhana: tidak membuang sampah sembarangan, menanam pohon, mengawasi operasi perusahaan di wilayahnya, serta mendukung aktivis lingkungan. Yang paling penting, pahami bahwa menjaga alam adalah ibadah. Setiap pohon yang kita tanam adalah sedekah jariyah.
Media :
Doktor Romadlon, jika berbicara jangka panjang, apa strategi paling efektif dan solusi terbaik agar bencana ekologis seperti di Sumatera tidak terulang?
Dr. Romadlon :
Ada tiga strategi utama.
Pertama, penegakan hukum ekologis secara konsisten. Perusahaan yang melanggar harus dicabut izinnya, tanpa pandang bulu. Tanpa hukum yang tegas, kerusakan akan terus berulang.
Kedua, rehabilitasi dan reforestasi massif. Pemerintah harus membangun kembali sabuk hijau di kawasan rawan bencana dan melibatkan pesantren, ormas Islam, kampus, dan masyarakat setempat.
Ketiga, pendidikan ekologis berbasis nilai agama. Masjid, madrasah, dan sekolah harus mengajarkan bahwa merawat hutan adalah bagian dari amanah iman. Jika ekologi sudah menjadi kesadaran spiritual, maka pengawasan akan lahir dari hati rakyat, bukan hanya dari aturan negara.
Inilah kombinasi terbaik: hukum yang tegas, ekosistem yang dipulihkan, dan kesadaran moral yang ditanamkan sejak dini.
Media :
Terakhir, apa pesan moral Anda bagi bangsa Indonesia?
Dr. Romadlon :
Pesan saya sederhana: Ketika alam menangis, sesungguhnya ia sedang menegur kita. Banjir dan longsor bukan sekadar gejala alam, tetapi peringatan spiritual. Menjaga bumi adalah menjaga kemanusiaan. Jika kita gagal menjaga bumi hari ini, maka generasi anak cucu kita akan mewarisi dosa ekologis yang kita tinggalkan.
Baik Dr. Romadlon. Terima kasih untuk segala kontribusinya bagi bangsa ini, khususnya dialog kita hari ini, semoga segala pencerahan yang disampaikan serta strategi yang di paparkan bisa menjadi penyemangat para Aktivis Lingkungan, Organisasi masyarakat, Lembaga Lembaga terkait lingkungan, Para Pemangku Jabatan dan khususnya Masyarakat, kedepannya agar jangan takut menyampaikan informasi terkait kerusakan alam dilingkungan sekitarnya yang dapat menimbulkan bencana terkait lingkungan.
Saya Kabiro Kediri Kota – Indonesia Jaya Group, Mengajak kita semua untuk mulai dari diri kita sendiri, membuka kesadaran betapa pentingnya kita menjaga ekosistem bumi ini, untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik.


